“anakku yang nomor dua mengidap penyakit Thalasemia yang belum ada obatnya. Setiap bulan harus ranfusi darah dan biaya itu tidak murah. Walaupun ada bantuan dari tempat kerjaku, tapi yang di berikan hanya setengahnya. Coba bayangkan, jika aku terlambat melakukan transfusi darah, kematian anakku jelas semakin dekat”.
Dalam sebuah kesempatan, aku
bertemu dengan tiga teman SMA ku di sebuah rumah makan sederhana. Kami berempat
lalu mengobrol banyak hal termasuk entang kami sekolah dulu sampai kedua
temanku berterus terang tentang kehidupannya yang kini tengah di jalani nya.
“kamu beruntung sekali. Usahamu
sukses dan pasti banyak uang” pancingku kepada temanku yang dulu duduk se bangku
denganku yang bernama sutrisno.
“orang boleh bilang aku sukses
dalam usaha dan memang aku kemana mana dengan mengendarai mobil. Tapi kalian
lihat dari luarnya saja. Kalian mau tau berapa utangku yang harus dibayar?
Setengah miliar! Tapi insya allah aku selalu yakin dengan rezeki Allah asal aku
tetap beriktiar dan tak pernah meninggalkan salat lima waktu”. Mendengar
jawaban itu aku mengelus dada. Kupikir wajar saja sebab ia bisa jadi pinjam ke
beberapa bank untuk modal usahanya.
Kemudian
yang selanjutnya bercerita temanku yang bernama Dudi yang bekerja sebagai
driver pada sebuah bank swasta. Aku mendengar pula bahwa ia salah satu driver terbaik di bank tersebut. Beberapa kali ia mendapat penghargaan.
“harus ku syukuri memang banyak
nikmat yang telah Allah berikan kepada keluargaku. Tapi terus terang, selain
nikmat, aku pun diberi ujian yang cukup berat”, ujarnya saat itu.
“anakku yang nomor dua mengidap
penyakit Thalasemia yang belum ada obatnya. Setiap bulan harus ranfusi darah
dan biaya itu tidak murah. Walaupun ada bantuan dari tempat kerjaku, tapi yang
di berikan hanya setengahnya. Coba bayangkan, jika aku terlambat melakukan
transfusi darah, kematian anakku jelas semakin dekat”.
Lalu temanku yang ketiga bernama
nazar. Dia memiliki sedikit usaha walaupun masih tinnggal dengan orang tuanya.
Dia terbilang pria yang tergolong alim dan waktu sekolah pun bukan tergolong
pria yang neko neko.
“bagaimana cerita kamu?” pancingku
agar dia mau menceritakan pengalaman hidupnya.
“kalau sutrisno walaupun punya
utang besar, tapi dia sudah punya anak istri, Lalu Dudi walaupun anaknya
mengalami Thalasmia, tapi juga punya anak dan istri. Kalau saya terus terang,
boro-boro punya anak, punya istri juga belum. Sepertinya aku kesulitan
mendapatkan jodoh” terangnya yang membuat kami bertiga heran mendengarnya.
Baru kali itu aku mengetahui kalau
nazar belum menikah alias bujangan walaupun usianya 40 tahun. Kami berempat
akhirnya menjalin keakraban dan silaturahim yang tercipta di meja makan. Sutrisno
akhirnya membayar jamuan yang dimakan kami ber empat. Sebuah pertemuan yang
berkesan bagiku.
Saat
aku pulang dari peremuan itu, kedua buah hatiku menyambut ku dengan penuh
perasaan bahagia. Aku teringat dengan cerita kedua temanku itu. Mulutku tanpa
sadar mengucap kata hamdalah berulang kali malam itu aku harus benar benar bersyukur dengan nikmat yang di berikan oleh Allah. Yang membedakan aku dengan
ketiga temanku tadi adalah jika mereka sudah memiliki tempat tinggal sendiri,
sementara aku masih mengontrak.
Begitu banyak nikmat Allah yang
telah di berikan kepada keluargaku. Semoga aku selalu di beri nikmat dan mampu
untuk selalu bersyukur sepanjang waktu.
Deffy Ruspiandy, bandung, jawa
barat
Majalah suara Hidayatullah
Majalah suara Hidayatullah
Posting Komentar
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Berkomentarlah dengan baik
* Dilarang meninggalkan link dalam komentar
* Terimakasih atas komentarnya